PERAN SERTA MASYARAKAT DAN NEGARA
DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI INDONESIA
Pendahuluan
Konflik merupakan peristiwa yang wajar di tengah kehidupan masyarakat
majemuk, karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di
antara berbagai kelompok masyarakat merupakan faktor potensial yang dapat
menjadi pemicu. Kemungkinan berlangsungnya konflik akan semakin menguat
jika perbedaan horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) tersebut
dipertajam oleh perbedaan vertikal (kesenjangan ekonomi dan kekuasaan).
Sebagai realitas sosial masyarakat, konflik mempunyai sisi positif dan sisi negatif.
Dalam dimensi positif, konfllik menjadi bagian penting untuk terwujudnya
perubahan sosial yang lebih berarti menyelaikan perbedaan yang timbul,
membangun dinamika, heroisme, militanisme, penguatan solidaritanisme baru,
serta lompatan sejarah ke depan untuk integrasi yang lebih kokoh. Sedangkan
dimensi negatif, konflik menimbulkan resiko bagi masyarakat dan bangsa
mengakibatkan kerawanan sosial dan politik serta memicu krisis atau kekacauan
(chaos) dalam berbagai bentuknya seperti; disorientasi nilai, disharmonisasi
sosial, disorganisasi, bahkan sampai kepada disintegrasi bangsa.
Indonesia sebagai sebuah bangsa, sejak awal kemerdekaan hingga era
reformasi mengalami perjalanan konflik yang luar biasa, baik dalam bentuk,
sifat dan jenis, maupun dalam eskalasinya yang beragam, kompleks dan multi
dimensi. Sejak era pemerintahan Soekarno (1945-1965), Soeharto (1966-1998),
sampai pada masa pemerintahan di era reformasi (1999-2006), gejolak konflik
dan kekerasan terjadi secara bertubi-tubi dari lingkup komunitas lokal, regional
sampai tingkat nasional. Sejauh pengamatan yang dapat disaksikan bahwa
fenomena konflik sosial politik di Indonesia sampai tahun 2006 menunjukkan
intesitas yang semakin tinggi serta semakin memprihatikan. Dalam catatan
hasil laporan penelitian yang di lakukan, konflik hampir terjadi di seluruh
wilayah Indonesia (Jurnal PSK, Edisi II, April 2000). Tahun 1996 sampai masa
reformasi di tahun 2000, inventarisasi kasus-kasus konflik kekerasan mencapai
628 kasus dengan perincian; tahun 1996 terjadi 24 konflik; tahun 1999 terjadi
210 kasus konflik; tahun 2000 terjadi 230 kasus konflik, tahun 2006 konflik
kekerasan yang terjadi dari tingkat komunal sampai nasional mencapai 240
kasus.
Kompleksitas dan intensitas konflik yang terjadi di beberapa daerah
di Indonesia, seperti di Aceh, Maluku, dan Timor-Timur telah mendorong
keterlibatan dunia internasional. Penyelesaian konflik tersebut, khususnya di
Aceh dan Maluku, sejauh ini dapat diatasi meskipun melalui upaya panjang dan
rumit. Kedua daerah tersebut dapat dipertahankan sebagai bagian dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara, penyelesaian
terhadap konflik vertikal di Timor-Timur telah memaksa Indonesia harus rela
melepaskan daerah tersebut menjadi negara yang berdiri sendiri.
Persoalannya kemudian, pemerintah dan rakyat Indonesia dihadapkan
kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah masalah yang
rumit. Khususnya pasca konflik di Aceh dan Maluku, telah meninggalkan
pengalaman traumatis, problema besar yang di hadapi adalah rusaknya pranata
sosial budaya dan infra struktur dalam kehidupan di daerah konflik. Karena
itu, sangat diperlukan strategi yang tepat untuk membangun kembali stabilitas
politik dengan melibatkan peran serta masyarakat dan negara untuk pemulihan
(recovery) pasca konflik
pendapat
konflik sering terjadi di mana-mana
mengingat negara kita adalah negara hukum sudah sewajarnya konflik terjadi
namun bagaimana kita menyikapinya itu tergantung kepada kepribadian kita masing2
konflik mempunyai sisi positif
namun di sisi negatif